PEMUPUKAN KELAPA SAWIT
PEMBENIHAN ABALON (Holiotis squamata) DAN BUDIDAYA PAKAN ALAMI DI BALAI BESAR RISET PERIKANAN BUDIDAYA LAUT GONDOL
Senin, 09 Agustus 2010
Abalon merupakan salah satu komoditas laut dari jenis molusca atau kerang-kerangan yang memiliki nilai ekonomis penting. Disamping rasanya lezat juga memiliki nilai gizi yang tinggi dengan kandungan protein 71,99%, lemak 3,20%, serat 5,60%, abu 11,11% dan kadar air 0,60%. Selain itu cangkangnya mempunyai nilai estetika yang dapat digunakan untuk perhiasan pembuatan kancing baju dan berbagai bentuk barang kerajinan lainnya (Imai, 1977; Ino, 1980; Kastoro, 1992; Setiawati et al., 1994).
Di Indonesia, jenis siput / kerang ini belum banyak dikenal masyarakat dan pemanfaatannya baru batas-batas daerah tertentu, khususnya daerah pesisir. Abalon terkenal di negara-negara maju seperti di Eropa, Amerika Utara, Jepang dan Meksiko. Akan tetapi di Jakarta ada sebuah hotel dan restoran yang menyajikan menu khusus yang berbahan kerang abalon salah satunya restoran Ah Yat Abalone di Hotel Dusit Mangga Dua, Plaza Indonesia dan Plaza Senayan. Yang menariknya untuk mencicipi setiap potong abalon pengunjung minimal harus merogoh kocek sekitar Rp. 200 ribu – 1 juta perporsi. Perlu diketahui itu bukan menu termahal, untuk menu abalon kering per ekornya mencapai Rp. 13 juta seharga 1 buah motor (Indonesia Version, 2007). Tapi ironisnya, seluruh bahan baku masakan abalon masih di impor dari Jepang, Meksiko dan Afrika Selatan. Ini disebabkan ketersediaan bahan baku abalon di Indonesia masih sangat minim.
Ditambah dengan kebutuhan abalon di pasar dunia semakin meningkat baik dalam bentuk segar atau olahan. Pada tahun 1975 kebutuhan abalon dunia masih seimbang selanjutnya semakin meningkat sampai pada tahun 2004 yaitu suplai sebesar 14.000 ton sedang kebutuhan tetap 20.000 ton (Gordon & Cook, 2001 dalam Garllardo, 2007). Indonesia mulai mengekspor abalon pada tahun 2005 ke negara Jepang, Cina, Singapura,dan Hongkong (Anonim, 2007). Permintaan abalon dari negara tersebut semakin meningkat. Data dari Dinas Perikanan Dan Kelautan Provinsi Nusa Tenggara Barat bahwa setiap bulan jumlah ekspor abalone sekitar 600 – 950 kg (Anonim, 2007). Volume ekspor tersebut nyaris tak terlihat karena hanya mengandalkan dari hasil tangkapan nelayan.
Tingginya permintaan konsumen akan kebutuhan abalon mendorong usaha penangkapan secara intesif sehingga populasi abalone berkurang, disamping itu pertumbuhan abalon sangat lambat (Imai, 1977). Oleh karena itu pemanfaatan sumber daya laut tidak hanya dilakukan melalui penangkapaan tetapi juga perlu dikembangkan usaha budidayanya, salah satunya adalah budidaya laut. Pengembangan usaha budidaya abalon di masa mendatang mempunyai prospek cukup cerah, mengingat beberapa keunggulan yang dimilikinya baik dari teknik budidayanya, potensi lahan dan aspek pemasarannya. Abalon jika dibudidayakan dengan teknologi yang tepat akan menghasilkan keuntungan yang besar karena hampir seluruh penduduk di dunia sangat menggemari abalon. Di negara lain seperti Jepang, Selandia Baru, Taiwan, China, Australia, Afrika Selatan dan Korea Selatan, abalone sudah dibudidayakan dengan menggunakan teknologi yang canggih dan tepat guna (Romi & Sri, 2001).
Di Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol (BBRPBL) Gondol, Bali, pembenihan abalon (Haliotis squamata) mulai dikembangkan sejak tahun 2006 melalui kerja sama dengan perusahaan swasta “Mariteech” dari Jepang. Abalon dipilih karena spesies ini mempunyai nilai ekonomis yang tinggi, terutama di jepang. Di jepang, Haliotis squamata dikenal dengan nama „tokobusi‟. Di Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut (BBRPBL) Gondol, abalon sudah berhasil dibudidayakan. Peluang keberhasilan pembenihan abalon untuk daerah tropis cukup besar menggingat Thailand sebelumnya telah berhasil membenihkan Haliotis asinina secara missal (Singhagraiwan & Masanori, 1993).
LIHAT SELENGKAPNYA
0 komentar:
Posting Komentar