PEMUPUKAN KELAPA SAWIT
Rabu, 06 Januari 2010
SECARA alamiah, pencemaran lingkungan perairan telah berlangsung bersamaan dengan keberadaan perairan itu sendiri. Pada awalnya, hal tersebut belum menjadi persoalan yang serius karena kebutuhan air bersih masih belum begitu mendesak. Sejalan dengan pertumbuhan jumlah penduduk tingkat kualitas air telah mengalami banyak perubahan.
Degradasi lingkungan, terutama yang berkaitan dengan pencemaran perairan oleh industri bersamaan dengan meluasnya praktik bercocok tanam yang tidak mengindahkan kaidah-kaidah konservasi, termasuk pemanfaatan sarana produksi secara berlebih, telah memberikan sumbangan yang signifikan untuk terjadinya menurunkan kualitas air.
Pada musim kemarau, besarnya debit aliran air di perairan menyusut drastis. Dengan demikian, kualitas air menjadi sangat menentukan bagi kehidupan manusia dan makhluk lain yang kehidupannya tergantung pada sumberdaya perairan.
Tulisan ini mengulas keterkaitan antara kombinasi pemanfaatan lahan yang tidak konservatif dan pencemaran oleh industri di daerah tangkapan air sungai Citarum Hulu dengan kematian massal ikan di waduk Saguling dan waduk Cirata.
Pencemaran Sungai Citarum
Kandungan gas oksigen terurai dalam air mempunyai peran menentukan untuk kelangsungan hidup organisme akuatis dan untuk berlangsungnya proses reaksi kimia yang terjadi di dalam badan perairan.
Gas terurai dalam aliran air yang perlu mendapat perhatian adalah oksigen (O), karbon dioksida (CO2), dan nitrogen (N). Dari perspektif biologi, kandungan gas oksigen di dalam air merupakan salah satu unsur penentu karakteristik kualitas air yang terpenting dalam lingkungan kehidupan akuatis.
Dengan kata lain, besar atau kecilnya muatan oksigen di dalam air dapat dijadikan indikator ada atau tidaknya pencemaran di suatu perairan. Maka, pengukuran besarnya biochemical oxygen demand (BOD) dan/atau chemical oxygen demand (COD) perlu dilakukan untuk menentukan status muatan oksigen di dalam air.
BOD adalah angka indeks oksigen yang diperlukan oleh bahan pencemar yang dapat teruraikan (biodegradable pollutant) dalam suatu sistem perairan selama berlangsungnya proses dekomposisi aerobic. Sedangkan dekomposisi aerobic adalah proses perubahan kimia dari terurainya mikroba-mikroba yang menyusun molekul organik menjadi bentuk lain yang lebih sederhana dan bersifat permanen seperti CO2, PO4 dan NO4.
Dengan demikian, proses dan bentuk hubungan antara limbah yang dapat teruraikan di dalam air dan jumlah oksigen yang diperlukan untuk berlangsungnya proses dekomposisi menjadi penting untuk diketahui. Makin besar angka indeks BOD suatu perairan, makin besar tingkat pencemaran yang terjadi.
Angka indeks BOD, umumnya mengacu pada angka standar inkubasi 5 hari (BOD5). Secara umum, angka BOD yang tinggi menunjukkan konsentrasi bahan organik di dalam air yang juga tinggi. Pengukuran kualitas air di sungai Citarum menunjukkan, kadar BOD5, COD dan kadar coliform telah jauh melampaui baku mutu air yang layak dijadikan bahan baku air minum. Besarnya angka konsentrasi BOD5 sungai Citarum dapat dilihat dalam Tabel 1.
Tabel 1 menunjukkan, berdasarkan pemodelan kualitas air sungai Citarum, konsentrasi BOD5 tertinggi adalah di Cimahi dan terkecil di Rancaekek. Hal ini memperlihatkan tingkat pencemaran yang berasal dari industri di Cimahi adalah besar. Tapi, karena daya dukung konsentrasi BOD5 di Cimahi termasuk cukup besar, maka angka nisbah konsentrasi BOD5-nya kecil, sehingga prioritas penurunan konsentrasi BOD pertama kali difokuskan ke Bandung Selatan, kemudian Majalaya, Cimahi, Banjaran, dan terakhir di Rancaekek.
Pencemaran Saguling-Cirata
Kematian ikan secara massal di waduk Saguling dan Cirata terjadi setiap tahun dengan beberapa tahun tertentu dalam jumlah sangat mencolok, misalnya pada tahun 1991, 1993, dan 1997 jumlah ikan yang mati di Saguling masing-masing 470,3 ton, 1.873,4 ton, dan 809,7 ton (Koswara, 1999). Pada tahun yang sama, jumlah ikan mati di Cirata adalah 34,5 ton, 29,2 ton, dan 209,3 ton.
Jumlah kematian ikan yang lebih besar di waduk Saguling dibandingkan dengan di waduk Cirata diperkirakan terkait dengan lebih besarnya tingkat pencemaran yang terjadi di waduk Saguling. Hal ini kemungkinan karena konsentrasi industri, permukiman, dan pertanian yang merupakan kontributor pencemaran di sungai Citarum lebih banyak di daerah tangkapan air waduk Saguling dibandingkan dengan waduk Cirata yang lokasinya lebih ke hilir. Hasil pantauan PT PLN Unit Pembangkitan Saguling (1999) juga menunjukkan laju sedimentasi tahunan yang masuk ke waduk Saguling selama periode 1991 hingga 1999 lebih dari 4 juta m3/tahun. Selain mengganggu ekosistem akuatik, angka laju sedimentasi tersebut juga telah menyebabkan terjadinya pengendapan sedimen 38,9 juta m3 atau sekira 23% dari volume dead storage yang telah direncanakan. Artinya, dalam rentang waktu sekitar 10 tahun, telah terjadi penyusutan kapasitas tampung air waduk sebesar 23% akibat sedimentasi.
Hal ini membawa implikasi makin dekatnya jarak endapan sedimen termasuk bahan pencemar dari industri, pertanian dan rumah tangga terhadap lokasi budidaya ikan (keramba jaring apung) di waduk Saguling. Apa artinya? Ancaman kontaminasi bahan pencemar yang mengendap di dasar waduk terhadap budidaya ikan di atasnya adalah besar.
Kecenderungan makin besarnya kematian massal ikan di waduk Saguling dan Cirata akhir-akhir ini kemungkinan terkait dengan pencemaran dan/atau sedimentasi yang berlangsung di kedua waduk tersebut. Dalam kasus waduk Saguling, pencemaran perairan dalam bentuk penyuburan perairan (eutrophication) memberikan andil besar terhadap kematian massal ikan.
Proses penyuburan perairan mengakibatkan terjadinya penguraian bahan organik menjadi bahan anorganik, misalnya NOx dan NH3, yang bersifat mengurangi oksigen dalam air. Proses ini, bila berlangsung dalam skala cukup besar, akan menurunkan jatah oksigen yang sangat diperlukan oleh ikan. Kasus inilah yang seringkali dilaporkan (antara lain oleh Koswara, 1999) sebagai pemicu kematian ikan secara massal. Kematian massal ikan seringkali terjadi pada periode peralihan musim kemarau ke musim hujan. Pada periode itu terjadi pembalikan massa air dari dasar ke permukaan waduk akibat penurunan suhu di permukaan air waduk.***
Chay Asdak, Ph.D., Peneliti PPSDAL-Lembaga Penelitian Unpad (Jln. Cisangkuy 62. T/F 7279435).
0 komentar:
Posting Komentar