PEMUPUKAN KELAPA SAWIT
Rabu, 06 Januari 2010
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Latar belang saya mengambil judul ini karena kekerasan rumah tangga sangat berkambang pesat di tengah tengah mesyarakat. Didalam sebuh keluarga yang berperang penting adalah suami namun yang melakukan kekerasan kebanyakan dari pihak suami. Kekerasan rumah tangga bukan hanya terjadi di kalangan orang dewasa namun ada juga anak anak yang tidak berdosa menjadi korban kemarahan san ibu atau sang bapak.
Kenyataan itu menunjukkan, persoalan kekerasan dalam rumah tangga terjadi melintasi batas-batas ras, suku, agama. Persoalan kekerasan dalam rumah tangga bukan dominasi masyarakat Jawa yang mayoritas muslim, tetapi juga masyarakat non-Jawa dengan mayoritas nonmuslim. Hanya saja di daerah tertentu seperti Jawa kasus kekerasan dalam rumah tangga terdokumentasi sementara daerah lain tidak terdokumentasi.
Persoalan ketidaktersediaan data statistik tentang kekerasan dalam rumah di banyak daerah di Indonesia seperti di Ende dan mungkin di beberapa daerah lain disebabkan karena beberapa hal. Pertama, kekerasan dalam rumah tangga masih dianggap sebagai persoalan yang sangat serius. Anggapan ini tidak saja terjadi di kalangan masyarakat bawah, akan tetapi juga di kalangan elite sekalipun. Bahkan dalam ruang rapat paripurna DPR pun masih muncul, seperti dilansir hukumonline.com. Juru bicara salah satu partai menyebut persoalan rumah tangga adalah masalah privat. Akibat anggapan ini kasus kekerasan dalam rumah tangga cenderung didiamkan karena menjadi aib setiap rumah tangga yang harus ditutup-tutupi.
1.2 Tujuan
Supaya mahasiswa tau tentang begaimana resikonya kekerasan di dalam rumah tangga.
Dengan adanya makalah ini kita dapat mempelajari kekerasan dalam rumah tangga tidak hanya terjadi di kalangan orang dewasah.
Agar mahasiswa tau jika ingin beruma tangga sebaiknya kita pikirkan terlebih dahulu apakah uda siap atau belum.
BAB II
HASIL DAN PEMBAHASAN
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Salah satu Kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur untuk sebuah penelitian. Dalam perbincangan dengan kepala rumah sakit tersebut terungkap bahwa dalam setiap bulan petugas rumah sakit setidaknya menemukan satu pasien perempuan yang mengalami tindak kekerasan dari suami.
Ungkapan kepala rumah sakit itu menunjukkan bahwa kasus kekerasan dalam rumah tangga di daerah itu cukup serius sekalipun tidak ditemukan data statistik resmi tentang kekerasan dalam rumah tangga di Kabupaten Ende. Keseriusan persoalan di kawasan timur Indonesia itu jelas sama seriusnya dengan yang terjadi di kawasan lain di Indonesia.
Seperti diungkap Komnas Perempuan dalam buku Peta Kekerasan Pengalaman Perempuan Indonesia, berdasarkan laporan Rifka Annisa Women’s Crisis Center di Yogyakarta dari tahun 2001 sampai 2006 tercatat 1.037 kasus kekerasan terhadap istri. Di Jakarta, berdasarkan laporan Solidaritas Aksi Korban Kekerasan terhadap Anak dan Perempuan dari tahun 2000 sampai 2006 tercatat 92 kasus KDRT.
Kenyataan itu menunjukkan, persoalan kekerasan dalam rumah tangga terjadi melintasi batas-batas ras, suku, agama. Persoalan kekerasan dalam rumah tangga bukan dominasi masyarakat Jawa yang mayoritas muslim, tetapi juga masyarakat non-Jawa dengan mayoritas nonmuslim. Hanya saja di daerah tertentu seperti Jawa kasus kekerasan dalam rumah tangga terdokumentasi sementara daerah lain tidak terdokumentasi.
Persoalan ketidaktersediaan data statistik tentang kekerasan dalam rumah di banyak daerah di Indonesia seperti di Ende dan mungkin di beberapa daerah lain disebabkan karena beberapa hal. Pertama, kekerasan dalam rumah tangga masih dianggap sebagai persoalan privat. Anggapan ini tidak saja terjadi di kalangan masyarakat bawah, akan tetapi juga di kalangan elite sekalipun. Bahkan dalam ruang rapat paripurna DPR pun masih muncul, seperti dilansir hukumonline.com. Juru bicara salah satu partai menyebut persoalan rumah tangga adalah masalah privat. Akibat anggapan ini kasus kekerasan dalam rumah tangga cenderung didiamkan karena menjadi aib setiap rumah tangga yang harus ditutup-tutupi.
Kedua, tidak ada lembaga yang memberi layanan langsung (misalnya, crisis center) yang memberi pendampingan psikologis dan hukum untuk korban kekerasan dalam rumah tangga. Pengalaman di Yogyakarta menunjukkan, setelah terbentuk Rifka Annisa Women’s Crisis Center yang memberi layanan untuk perempuan korban kekerasan, angka KDRT terungkap sekalipun sebelumnya dinilai tidak ada bahkan cenderung ditolak.
Ketiga, tidak ada perlindungan hukum dari negara. Perlindungan hukum mencakup adanya aturan hukum yang jelas dan aparat hukum yang profesional serta ganti rugi yang efektif bagi korban. Ketiadaan aturan hukum yang jelas sering kali menjadi alasan keengganan aparat hukum untuk merespons laporan kasus kekerasan dalam rumah tangga. Akibatnya, kasus kekerasan dalam rumah tangga sering kali menjadi dark number.
Persoalan keterbatasan data statistik tentang KDRT di Indonesia, seperti disebutkan di atas, tidak serta merata menggugurkan pentingnya undang undang antikekerasan dalam rumah tangga (selanjutnya disebut UU anti-KDRT) di Indonesia apalagi menghambat proses legislasi yang sedang berlangsung di DPR saat ini. Faktor ketiadaan aturan hukum (undang-undang) tentang KDRT menjadi salah satu penyebab kekerasan dalam rumah tangga menjadi kejahatan tersembunyi.
Peristiwa pembahasan RUU KDRT dalam rapat paripurna DPR itu bukan peristiwa yang tiba-tiba, akan tetapi merupakan buah perjuangan berbagai kalangan yang peduli dengan masalah kekerasan terhadap perempuan yang tergabung dalam Jangka PKTP atau Jaringan Kerja Advokasi Kebijakan Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan.
Meskipun bermula dari desakan aktivis perempuan, selanjutnya menjadi penting untuk dipahami oleh berbagai kalangan di negeri ini bahwa legislasi RUU anti-KDRT merupakan keharusan bagi Indonesia sebagai negara yang telah meratifikasi beberapa konvensi internasional tentang perempuan dan bukan karena desakan aktivis perempuan.
Anggota DPR dan pemerintah harus memaklumi bahwa Indonesia telah meratifikasi Konvensi CEDAW (Convention on the Elimination of All forms of Discrimination against women) atau konvensi tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984. Sebagai konsekuensi dari ratifikasi ini Indonesia harus melakukan:
Pembentukan hukum dan atau harmonisasi hukum sesuai kaidah hukum yang terdapat dalam konvensi tersebut. Kewajiban ini dilakukan dengan mengkaji peraturan perundangan atau membuat perundangan baru berdasarkan konvensi yang telah diratifikasi.
Penegakan hukum mengenai hak-hak perempuan melalui pengadilan nasional dan lembaga pemerintah lainnya.
Selain itu, anggota DPR dan pemerintah juga harus memahami bahwa legislasi UU anti-KDRT memiliki nilai strategis bagi upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di Indonesia serta memiliki nilai politis bagi partai-partai politik di DPR saat ini.
Nilai strategis penghapusan kekerasan terhadap perempuan adalah pertama, dengan diundangkannya UU anti-KDRT akan menggeser isu KDRT dari isu privat menjadi isu publik. Ketika isu ini telah menjadi isu publik hal itu diharapkan dapat meruntuhkan hambatan psiko- logis korban untuk mengungkap kekerasan yang diderita dengan tanpa dihantui perasaan bersalah karena telah membuka aib.
Kedua, UU KDRT akan memberi ruang kepada negara untuk melakukan intervensi terhadap kejahatan yang terjadi di dalam rumah sehingga negara dapat melakukan perlindungan lebih optimal terhadap warga negara yang membutuhkan perlindungan khusus (perempuan dan anak) dari tindak kekerasan.
Adapun nilai politis untuk partai-partai politik, proses legislasi RUU KDRT akan menjadi tolok ukur komitmen partai-partai politik terhadap persoalan perempuan (selain persoalan kuota) yang akan dijadikan pertimbangan pemilih perempuan pada pemilu yang akan datang.
Akhirnya hanya ada dua pilihan bagi anggota DPR, menjadi barisan orang yang menentang kekerasan dalam rumah tangga atau barisan yang membiarkan kekerasan dalam rumah terus berlangsung. (Nur Hasyim Peneliti pada Rifka Anissa Research and Training Center Yogyakarta)
Kekerasan dalam rumah tangga tidak hanya terjadi di kalangan istri namun serin kali terjadi di kalangan anak – anak Menurut ( sulaiman zuhdi manik )
KabarIndonesia - Kekerasan dalam rumah tangga terhadap anak (KDRTA) bukanlah kasus yang tidak ada terjadi. Malah, berdasarkan monitoring PKPA di Sumatera Utara sejak 2006 sekarang, keluarga atau orang yang terdekat dengan anak justru merupakan pelaku kekerasan paling dominan terhadap anak. Bahkan kasus kekerasan yang dilakukan keluarga dalam banyak kasus termasuk kategori berat dan berakibat fatal bagi anak, seperti pembunuhan, penyiksaan hingga menyebabkan cacat seumur hidup atau bahkan meninggal. Demikian juga kasus incest atau hubungan seksual sedarah yang dilakukan berulang kali atau hingga berpuluh tahun terjadi. Sementara kasus-kasus kekerasan seperti memukul, menendang, mencambak, mencubit dan lain sebagainya mungkin setiap hari terjadi dan sudah dianggap sebagai hal biasa. (Nur Hasyim Peneliti pada Rifka Anissa Research and Training Center Yogyakarta)
2.1 FAKTOR APA SELAIN PENDIDIKAN YANG DAPAT MENGATASI MASALAH INI
Itu bias berupah jika ada modernisasi. Yang di maksud di sini bukan modernisasi gaya hidup saja, tetapi yang lebih supstentif. Misalnya dangan perubahan nilai –nilai kemanusiaan, pola piker, wawasan pengetahuan, dan aspek-aspekpentin lainnya.
Tentu ada factor external yang mempengaruhi, Misalnya terpaan media. Kalau sajian media tetap menampilkan perempuan sebagai komoditas yang hanya dieksploitasi oleh laki-laki itu artinya proses penamaan pola pikir. Karena tampilan-tampilan di televise, misalnya manjadi pembenaran bahwa laki-laki bias di lakukan kekerasan. (Nur Hasyim Peneliti pada Rifka Anissa Research and Training Center Yogyakarta)
2.2 APAKAH FACTOR EKONOMI TIDAK DOMINAN
Bisa saja memang penyebab factor ekonomi. Kalau ada masalah ekonomi dan tidak ada kesepakatan, lantas tidak ada komunikasi yang dapat melahirkan jalan keluar, Bisa saja terjadi kekerasan di dalam rumah tangga.
Kuncinya memang pada komunikasi. Kalau tidak ada komunikasi, lahir stereo typing dan prejudice yang besar di antara dua pihak, lebih besar dari pada keyakinan untuk menyelesaikan masalah itu sendiri. (Nur Hasyim Peneliti pada Rifka Anissa Research and Training Center Yogyakarta)
2.3 HUKUM KURANG BERPIHAK
Tidak hanya sistem atau budaya dalam masyarakat yang banyak merugikan anak, hukum yang semestinya melindungi justru merugikan dan itu karena status mereka anak-anak atau perempuan. Sebagai anak, mereka belum diakui kapasitas legalnya (legal capacity). Dalam kasus KDRTA dimana pelakunya adalah extended family (keluarga terdekat), terutama ayah-ibu, selain alat bukti yang dimungkinkan tidak cukup, juga untuk kasus tertentu seperti pemekosaan (pasal 287 KUHP), jika anak berumur dibawah 15 tahun maka kasusnya merupakan delik aduan, yang berarti suatu kasus sangat mungkin tidak terungkap dan kalaupun diadukan sewaktu-waktu dapat dicabut oleh si pengadu, akibat dipengaruhi atau anak mengalami tekanan pisikologis dari keluarganya.
Demi menjaga aib keluarga, karena takut kepada orang tua atau karena tidak tahu harus melapor kemana, kasus itu bisa dipendam oleh si anak. Juga bila telah dilaporkan, anak dapat dipaksa mencabut pengaduannya. Lalu, jika kasusnya incest dan terjadi pada anak berusia belum cukup 12 tahun, siapa saksi atau pelapor? Atau bahkan pada usia di atasnya, apakah ia berani melapor ? Apalagi yang dilaporkan ayahnya. Tentu tidak. Hanya jika si anak sudah menderita depresi berat baru orang lain mungkin mengetahui, ketika secara pisik dan psikis anak mengalami perubahan Bahkan dalam banyak kasus perkosaan ayah kepada anaknya kesaksian orang dewasa (termasuk ibu si anak atau keluarga lain) sering hanya bersifat mendengarkan dari orang lain (de auditu) sehingga secara material tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti, apalagi saksi hanya satu orang. Benar, visum et repertum bisa dijadikan sebagai alat bukti lain, akan tetapi bukankah kerusakan selaput dara tidak harus akibat ada penetrasi ke vagina perempuan dan bagaimana pula jika perbuatan itu tidak sampai mengakibatkan robeknya selaput dara korban atau telah berlangsung lama dan alat bukti lain (petunjuk) sudah tidak ada? Bukankah juga di Indonesia belum memiliki UU perlindungan saksi, hingga untuk kasus KDRT jarang sekali ada orang yang mau bersaksi di kepolisian atau pengadilan untuk membela anak, karena orang merasa direpotkan atau malah terancam jiwa dan keluarganya jika menjadi saksi suatu kasus..
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Kekerasan di dalam rumah tangga tidak hanya terjadi di kalangan orang tua tapi terjadi juga di kalangan anak-anak.
2. Hukum Kurang berpihak terhadap orang yang tertimpah masalah kekerasan di dalam rumah tangga.
3. kekerasan rumah tangga tidak hanya terjadi di kalangan bawah tapi terjadi juga di kalangan elit.
4. Selain pendidikan yang dapat mengatasi masalah ini, Misalnya terpaan media. Kalau sajian media tetap menampilkan perempuan sebagai komoditas yang hanya dieksploitasi oleh laki-laki
5. Kekerasan dalam rumah tangga semakin meluas karena hukum di Negara kita dapat di beli oleh orang-orang elit atau orang kaya.
6. Kekerasan dalalm rumah tangga selalu tidak terunkap karana korban selalu menutupi aib keluarga sehingga hokum susah untuk mengunkapnya,.
3.2 Saran
1. jia di dalam kelurga mendapat kekerasan dari orang tua atau sejenisnya sebaikya di laporkan kepihak yang berwajip, dan jangan malu demi kepentingan di sendiri biar pelakunya mendapat hokum yang setimpah.
2. Seorang hakim sebaiknya jangan menjual hokum demi kepentingan sendiri.
0 komentar:
Posting Komentar