PEMUPUKAN KELAPA SAWIT
Sabtu, 30 Oktober 2010
Udang windu merupakan komoditas budidaya perairan yang mempun yai nilai
ekonomis tinggi. Melalui gema PROTEKAN (Program Peningkatan Ekspor Hasil
Perikanan) 2003, ditargetkan pendapatan US$ 10,19 milyar dari perikanan, dan dari
budidaya udang diharapkan mampu menyumbang devisa sebesar US$ 6,79 milyar
(Basoeki, 2000), yaitu sejumlah lebih dari 60.000 ton udang (Harris, 2000).
Secara umum, budidaya udang di Indonesia telah dilakukan sejak lama. Namun
budidaya udang secara intensif baru berkembang pesat pada pertengahan tahun 1986,
dimulai di Pulau Jawa, selanjutnya b erkembang, antara lain di Bali, Sumatera Utara,
Aceh, Lampung, Bengkulu, Bangka, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi
Utara, Lombok, Sumbawa, dan Irian Jaya (Poernomo, 1988).
Indonesia tercatat sebagai negara penghasil udang terbesar ketiga di du nia.
Namun produksinya terus menurun, dari 100.000 ton (1994), 80.000 ton (1996), dan
50.000 (1998). Sejak tahun 1996 beberapa negara lain juga mengalami penurunan
produksi udang, tetapi berangsur -angsur membaik, bahkan Thailand mampu menjadi
negara penghasil udang budidaya nomor satu di dunia.
Dalam budidaya perairan (akuakultur), khususnya udang windu, produksi
merupakan fungsi dari biota, lingkungan dan pakan. Keberhasilan budidaya udang
ditentukan oleh biota yang mempunyai toleransi besar terhadap perubahan atau
fluktuasi lingkungan, tahan terhadap serangan hama dan penyakit, serta responsif
terhadap pakan yang diberikan. Keberhasilan suatu budidaya merupakan derajat
kelangsungan hidup dan bobot rata -rata individu yang tinggi sehingga diperoleh
produksi yang maksimal.
Ekosistem tambak merupakan lingkungan alami yang tidak mungkin dapat
menyediakan lingkungan hidup yang optimal bagi udang yang dibudidayakan. Untuk
itu, pengelolaan lingkungan sangat diperlukan untuk menyediakan tempat hidup yang
layak dan nyaman agar udang dapat menyelenggarakan proses -proses kehidupannya
dengan baik. Jika lingkungan sudah terkondisi dengan baik, maka faktor pakan
selanjutnya akan menentukan pertumbuhan. Ketersediaan pakan yang baik sangat
diperlukan bagi pertumbuhan, yaitu penambahan bobot, panjang atau volume udang
akibat adanya energi yang disisakan dari energi pakan setelah dikurangi dengan energi
metabolisme total serta energi yang dikeluarkan berupa feses dan urin. Produksi akan
optimal bila kendala oleh penyakit dan hama dapat diatasi dengan baik.
Ketiga faktor penentu produksi berinteraksi sesamanya. Sebagai contoh,
penerapan teknologi budidaya udang secara intensif memerlukan pemberian pakan yang
intensif pula. Hal ini berkonsekuensi terhadap penumpuka n sisa pakan dan ekskresi
udang, serta senyawa lainnya di dasar tambak yang dapat menjadi penyebab utama
penurunan kualitas lingkungan yang selanjutnya akan menurunkan produktivitas
tambak. Penurunan kualitas lingkungan dapat diakibatkan oleh ketidak -efisienan pakan
dan pemberian pakan, ekskresi udang, serta sisa pengobatan. Agar terjadi efisiensi
pakan yang tinggi, maka pakan udang yang diberikan harus berpeluang tinggi untuk
dimakan. Kondisi ini tercapai apabila kondisi lingkungan optimal bagi udang. Karena
keeratan hubungan tersebut, maka perlu diusahakan cara budidaya udang dengan
memperhatikan kondisi fisiologis udang, lingkungan tempat hidupnya, serta pakan yang
tidak mencemari lingkungan.
lihat selengkapnya
ekonomis tinggi. Melalui gema PROTEKAN (Program Peningkatan Ekspor Hasil
Perikanan) 2003, ditargetkan pendapatan US$ 10,19 milyar dari perikanan, dan dari
budidaya udang diharapkan mampu menyumbang devisa sebesar US$ 6,79 milyar
(Basoeki, 2000), yaitu sejumlah lebih dari 60.000 ton udang (Harris, 2000).
Secara umum, budidaya udang di Indonesia telah dilakukan sejak lama. Namun
budidaya udang secara intensif baru berkembang pesat pada pertengahan tahun 1986,
dimulai di Pulau Jawa, selanjutnya b erkembang, antara lain di Bali, Sumatera Utara,
Aceh, Lampung, Bengkulu, Bangka, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi
Utara, Lombok, Sumbawa, dan Irian Jaya (Poernomo, 1988).
Indonesia tercatat sebagai negara penghasil udang terbesar ketiga di du nia.
Namun produksinya terus menurun, dari 100.000 ton (1994), 80.000 ton (1996), dan
50.000 (1998). Sejak tahun 1996 beberapa negara lain juga mengalami penurunan
produksi udang, tetapi berangsur -angsur membaik, bahkan Thailand mampu menjadi
negara penghasil udang budidaya nomor satu di dunia.
Dalam budidaya perairan (akuakultur), khususnya udang windu, produksi
merupakan fungsi dari biota, lingkungan dan pakan. Keberhasilan budidaya udang
ditentukan oleh biota yang mempunyai toleransi besar terhadap perubahan atau
fluktuasi lingkungan, tahan terhadap serangan hama dan penyakit, serta responsif
terhadap pakan yang diberikan. Keberhasilan suatu budidaya merupakan derajat
kelangsungan hidup dan bobot rata -rata individu yang tinggi sehingga diperoleh
produksi yang maksimal.
Ekosistem tambak merupakan lingkungan alami yang tidak mungkin dapat
menyediakan lingkungan hidup yang optimal bagi udang yang dibudidayakan. Untuk
itu, pengelolaan lingkungan sangat diperlukan untuk menyediakan tempat hidup yang
layak dan nyaman agar udang dapat menyelenggarakan proses -proses kehidupannya
dengan baik. Jika lingkungan sudah terkondisi dengan baik, maka faktor pakan
selanjutnya akan menentukan pertumbuhan. Ketersediaan pakan yang baik sangat
diperlukan bagi pertumbuhan, yaitu penambahan bobot, panjang atau volume udang
akibat adanya energi yang disisakan dari energi pakan setelah dikurangi dengan energi
metabolisme total serta energi yang dikeluarkan berupa feses dan urin. Produksi akan
optimal bila kendala oleh penyakit dan hama dapat diatasi dengan baik.
Ketiga faktor penentu produksi berinteraksi sesamanya. Sebagai contoh,
penerapan teknologi budidaya udang secara intensif memerlukan pemberian pakan yang
intensif pula. Hal ini berkonsekuensi terhadap penumpuka n sisa pakan dan ekskresi
udang, serta senyawa lainnya di dasar tambak yang dapat menjadi penyebab utama
penurunan kualitas lingkungan yang selanjutnya akan menurunkan produktivitas
tambak. Penurunan kualitas lingkungan dapat diakibatkan oleh ketidak -efisienan pakan
dan pemberian pakan, ekskresi udang, serta sisa pengobatan. Agar terjadi efisiensi
pakan yang tinggi, maka pakan udang yang diberikan harus berpeluang tinggi untuk
dimakan. Kondisi ini tercapai apabila kondisi lingkungan optimal bagi udang. Karena
keeratan hubungan tersebut, maka perlu diusahakan cara budidaya udang dengan
memperhatikan kondisi fisiologis udang, lingkungan tempat hidupnya, serta pakan yang
tidak mencemari lingkungan.
lihat selengkapnya
0 komentar:
Posting Komentar