PEMUPUKAN KELAPA SAWIT

Kamis, 23 Juli 2009

Diposting oleh MANDALA

Tiga tahun terakhir, seolah menjadi era kebangkitan rumput laut. Di mana-mana antusiasme masyarakat untuk membudidayakan komoditas itu sungguh luar biasa.

Tiga tahun terakhir, seolah menjadi era kebangkitan rumput laut. Di mana-mana antusiasme masyarakat untuk membudidayakan komoditas itu sungguh luar biasa. Gairah tersebut bukan tanpa dasar. Maklum, rumput laut hanya memerlukan waktu 45 hari untuk layak dipanen dengan didukung biaya produksi yang sangat murah dan teknologi yang rendah. Harganya pun menggiurkan, berkisar Rp 4.000-Rp 5.500 per kilogram.

Salah satu contoh di sepanjang pesisir pantai dari Takalar hingga Sinjai, Provinsi Sulawesi Selatan, nyaris tidak ditemukan lagi lokasi penjemuran ikan. Kawasan pantai itu telah berubah menjadi tempat penjemuran rumput laut. Demikian juga di pesisir selatan Pulau Bali yang bukan termasuk daerah wisata, dulu cenderung dibiarkan merana. Kini, wilayah tersebut telah berubah menjadi �ladang� rumput laut.

Bahkan, di Bali yang pada lima tahun lalu usaha budidaya rumput laut hanya pada kawasan sekitar belasan hektar, kini meningkat tajam menjadi sekitar 350 hektar. Luar biasanya lagi, sejumlah masyarakat yang dulu tergolong sangat miskin, setelah menekuni budidaya rumput laut status mereka terdongkrak menjadi kelompok sejahtera. Potensi di Pulau Dewata itu mencapai 1.500 hektar.

Jika tahun 1999, volume produksi nasional hanya 157.232 ton, pada tahun 2003 menjadi 285.653 ton atau naik 17,26 persen. Sementara itu, volume ekspor tahun 1999 hanya 25.084 ton atau senilai 16,284 juta dollar AS, tahun 2003 menjadi 40.162 ton atau 20,511 juta dollar AS

Namun, kenyataan di Sulawesi Selatan dan Bali sungguh kontras dengan yang terjadi pada daerah lain di Kawasan Timur Indonesia. Di Flores, Malaku, dan daerah sekitarnya, gairah warga setempat yang dulu begitu tinggi membudidayakan rumput laut kini merosot lagi.

Persoalannya, pertama, usaha budidaya tersebut tidak didukung dengan pemasaran yang terpadu. Setiap hari, mereka selalu berhadapan dengan tengkulak yang cenderung menekan harga dengan dalil biaya pengangkutan kapal yang mahal dari Flores ke Surabaya.

Hal itu terjadi karena industri pengolahan, baik setengah jadi dan jadi hanya beroperasi di Pulau Jawa. Akibatnya, harga rumput laut kering berkualitas terbaik di tingkat pembudidaya di Flores, Maluku dan sekitarnya masih rendah, yakni hanya berkisar Rp 3.000-Rp 3.500 per kilogram.

Kedua, kurangnya penyediaan bibit rumput laut yang berkualitas. Padahal, setiap bibit hanya boleh dipakai paling banyak empat kali musim tanam secara berturut-turut. Setelah itu harus diganti dengan bibit baru. Langkah tersebut adalah bagian dari upaya menjaga stabilitas mutu produksi. Artinya, pengalokasian dana untuk usaha perikanan seharusnya didasarkan potensi yang dimiliki daerah itu. Semakin banyak potensi, makin besar pula dana yang dialokasikan.

Ketiga, tidak adanya tenaga penyuluh yang khusus menangani rumput laut. Lalu, keempat, belum adanya tata ruang yang membagi lokasi untuk usaha pembudidayaan.

Dari keempat masalah itu, pemasaran menjadi persoalan paling serius.

Di sini tugas pemerintah mendorong pendirian industri pengolahan rumput laut di sekitar lokasi produksi.

Manfaat yang bisa dipetik, antara lain memutuskan mata rantai tengkulak dan meningkatkan harga di tingkat pembudidaya. Bahkan, pembudidaya takkan lagi dibebankan biaya transportasi. �Lebih penting lagi, pembudidaya akan mengetahui secara transparan kualitas rumput laut seperti apa yang diinginkan industri,� kata Mozes Kuremas, rohaniwan yang menjadi penggiat usaha budidaya di Flores.

Mozes juga menilai kehadiran industri pengolahan di luar Pulau Jawa merupakan bagian dari pemerataan dan keadilan pembangunan nasional. Minimnya investasi swasta di daerah, seperti Nusa Tenggara Timur (NTT) telah membuat pencari kerja yang mencapai ratusan ribu orang itu menggantungkan masa depan sepenuhnya pada sektor pegawai negeri sipil (PNS).

Padahal, jumlah PNS yang diangkat setiap tahun sangat sedikit. Ketimpangan itu di satu sisi mengakibatkan jumlah pengangguran terus meningkat. Pada sisi lain berpeluang menimbulkan masalah sosial yang kompleks dan rumit.

Filipina lebih unggul

Harus diakui potensi budidaya rumput laut di Indonesia sungguh sangat besar, yakni sekitar 2 juta hektar dengan potensi produksi mencapai 46,73 juta ton per tahun. Namun, kini baru dimanfaatkan sekitar 350.000 hektar.

Seiring dengan kesadaran untuk memberdayakan potensi tersebut mulai tumbuh dan berkembang di seluruh daerah, volume produksi rumput laut pun bakal meningkat tajam. Bahkan, bukan tak mungkin Indonesia bakal muncul sebagai produsen rumput laut terbanyak di dunia.

Akan tetapi, apakah cukup dengan menyandang predikat tersebut? Rasanya terlalu prematur, sebab pertanyaan yang muncul berikutnya adalah apakah kualitasnya pun termasuk yang terbaik di dunia?

Sadar atau tidak, saat ini kualitas rumput laut Indonesia tergolong yang paling rendah. Filipina termasuk memiliki rumput laut berkualitas tinggi. Di sana, komoditas itu telah memiliki kekuatan gel mencapai 750 gram per sentimeter persegi. Adapun di Indonesia hanya 550 gram per sentimeter persegi. Namun, itu pun belum tercapai. Yang ada baru berkisar 200 gram-235 gram per sentimeter persegi.

�Artinya, mutu rumput laut di Indonesia masih sangat rendah. Penyebab utama adalah tidak ada standardisasi mutu sehingga semua pembudidaya dan pembeli semaunya memanen dan membeli tanpa memedulikan kualitas produk. Apalagi, bentuk rumput laut yang berusia 30 hari dan 45 hari nyaris tak berbeda,� kata Direktur Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan Hari Eko Arianto.

Misalnya, di Madura, Jawa Timur. Banyak pembudidaya yang setelah memanen, rumput laut itu direndamkan lagi ke dalam air laut selama semalam, baru dikeringkan. Tujuannya, meningkatkan berat komoditas tersebut.

Jika rumput laut yang langsung dikeringkan biasanya dari setiap delapan kilogram basah dihasilkan sekilogram kering. Sebaliknya, kalau direndam lagi dengan air laut, maka empat kilogram basah mampu menghasilkan satu kilogram kering, sebab kadar garam meningkat.

Cara kerja seperti itu menguntungkan pembudidaya, tetapi sangat merugikan industri pengolahan. Alasannya, setelah diolah yang dominan adalah kadar garam bukan rumput laut. �Itu sebabnya banyak industri pengolahan selalu menolak membeli rumput laut yang berasal dari Madura,� jelas Singgih Widodo, ahli rumput laut lainnya.

Seiring maraknya usaha budidaya rumput laut di Indonesia harus segera diikuti dengan penetapan standardisasi mutu produk. Langkah itu penting, sebab dalam banyak kasus para pembudidaya memanen komoditas tersebut pada usia 30 hari.

Padahal, seharusnya pada usia 45 hari baru boleh dipanen. Akibatnya, kualitas rumput laut dan produk ikutan lain selalu rendah dan tidak laku dijual di pasar domestik dan internasional

Setelah diselidiki, kesalahan bukan hanya dilakukan pembudidaya, tetapi juga pembeli. Bahkan, pembeli yang mewajibkan pembudidaya merendamkan rumput laut ke dalam air laut sebelum dikeringkan.

Praktik buruk tersebut dilakukan guna memenuhi kuota penjualan kepada perusahaan pengolahan, baik di dalam maupun di luar negeri. Penampung biasanya sudah memberi jaminan kepada industri pengolahan guna menyuplai bahan baku rumput laut sekian ton per bulan.

�Untuk memenuhi kuota segala cara dipakai, termasuk memaksa pembudidaya merendamkan rumput laut ke dalam air laut setelah dipanen,� tambah Th Dwi Suryaningrum, ahli rumput laut dari Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan.

�Jika praktik seperti ini dibiarkan terus, otomatis dijadikan senjata bagi pesaing Indonesia guna melakukan kampanye negatif di pasar dunia. Kerugian Indonesia pasti lebih besar lagi, sebab rumput laut bakal tak berharga. Karena itu, harus segera dicegah sedini mungkin.




Sumber: KCM

0 komentar:

Posting Komentar

Join 4Shared Now! Join 4Shared Now! Join 4Shared Now! Get 4Shared Premium!

Mengenai Saya

Foto saya
SINGKIL, NAD, Indonesia
SAYA ORANGNNYA SIMPLE DAN SELALU TERTARIK DENGAN HAL - HAL YANG BERBAU TEKNOLOGI DAN ILMU PENGTAHUAN. DAN SAYA TIDAK SUKA DENGAN KEKERASAN SERTA KEKEJAMAN. YANG PENTING MENURUT SAYA DAMAI ITU INDAH....
free counters